KARENA AKHIRATLAH, DUNIA INI MENJADI ENTENG

Assalamu’alaikum warahamatullahi wabaraktuh

Apa kabar hari ini untuk sahabat STIKOM semua ?  semoga senantiasa bahagia dan optimis dalam meraih cita-cita serta selalu berlomba-lomba dalam kebaikan dijalan Allah Subhanahu wa ta’ala. Pada Artikel hari ini Insya Allah kita akan menyimak penyampaian dari KH. Hafidz Abdurrahman tentang Karena Akhiratlah, Dunia Ini Menjadi Enteng.

Pasti sahabat STIKOM semua nggak sabar kan !!!
Yuk kita simak aja langsung penyampaian dari beliau.

Bayangkan, ketika Nabi Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama, kekasih Allah yang begitu dicintai-Nya, memanjatkan doa:

[وَأَسْـأَلُكَ لَذَّةَ النَّظْرِ إِلَى وَجْهِكَ، وَالشَّوْقِ إِلَى لِقَائِكَ [رواه الحاكم وابن حبان

“Dan, hamba memohon kepada-Mu kenikmatan memandang wajah-Mu, dan merindukan perjumpaan dengan-Mu.” [Hr. al-Hakim dan Ibn Hibban]

Doa kerinduan yang membuncah ingin berjumpa dengan kekasih-Nya. Puncak impian hamba, yang menjadi kekasih-Nya, yang belum pernah melihat wajah-Nya, menyimpan rindu yang terpendam ingin bertemu dan melihat wajah-Nya. Itulah doa Nabi Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama, kekasih-Nya.

Karena kerinduan itu, kita ingin selalu bersama-Nya, bercumbu dengan-Nya, terus memberikan apapun yang Dia minta, demi cinta, dan pengabdian kita kepada-Nya. Dia mencintai kita sesuai dengan cinta kita kepada-Nya. Itulah perasaan orang yang dimabuk cinta, kata al-Bushiri. Itulah “Asyq” [cinta sejati]. Karena cinta kita kepada-Nya, kita sanggup memberikan apapun yang Dia minta.

Jika suatu ketika Nabi Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama bersabda, “Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian, hingga aku lebih dia cintai, ketimbang anaknya, orang tuanya, hartanya, dan semua orang.” ‘Umar bin Khattab kemudian menyatakan, “Ya Rasulullah, aku sungguh mencintaimu, melebihi cintaku kepada anak, orang tua, hartaku, dan semua orang, kecuali diriku.” Kata Nabi, “Belum cukup, wahai ‘Umar, sampai aku lebih Engkau cintai ketimbang dirimu sendiri.” Maka, ‘Umar pun menyatakan, “Ya Rasulullah, saksikanlah, sejak saat ini, Engkau lebih aku cintai ketimbang diriku sendiri.” [Hr. Bukhari] begitulah, “Asyq” [cinta sejati].

Kenikmatan cinta ini di dunia terus bertambah, karena gambaran kenikmatan melihat wajah-Nya dan kerinduan untuk bertemu dengan-Nya itu terus membara. Tapi, syaitan tak pernah kehilangan asa. Syaitan terus berusaha memalingkan cinta kita kepada-Nya, dan menggantinya dengan cinta kepada yang lain. Karena itu, kata al-Bushiri:

كَمْ حَسَنَاتٍ لَذَّةً لِلْمَرْءِ قَاتِلَةً

“Betapa banyak kebaikan itu menjadi kenikmatan, tetapi justru menjadi pembunuh bagi seseorang.”

Boleh jadi kenikmatan itu sama, tetapi yang membedakan adalah ada dan tidaknya aspek ruhiyyah yang menyertainya. Kenikmatan zina dengan wanita secantik apapun, dan kenikmatan maksiat senikmat apapun, yang berujung pada derita, yaitu sanksi di dunia, dan siksa neraka di akhirat, atau menghalangi kenikmatan yang sempurna, yaitu nikmat surga dan nikmat melihat wajah-Nya, sejatinya bukanlah kenikmatan. Karena semua kenimatan “Syaithaniyah” itu hanyalah ilusi fatamorgana, yang akan membunuh dan menghancurkan hidupnya, di dunia maupun di akhirat.

Kenikmatan itu, kata Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, dalam Raudhatu al-Muhibbin, ada tiga. Kenikmatan fisik dan materi [Ladzzah Jutsmaniyah], seperti nikmatnya makanan, minuman, dan seks. Semua makhluk hidup, baik manusia maupun hewan, bisa merasakan kenikmatan fisik dan materi ini. Karena itu, dalam konteks kenikmatan ini, manusia tak ada bedanya dengan hewan. Kenikmatan ini pun tidak bisa menjadi pembeda kemuliaan, kecuali, jika kenikmatan fisik dan materi ini digunakan untuk mendapatkan kenikmatan puncak, yaitu ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kedua, kenikmatan emosional dan imaginer [Ladzzah Wahmiyyah wa Khayaliyyah], yaitu kenikmatan non materi. Nikmat kekuasaan, kehormatan, harga diri dan sebagainya, adalah kenikmatan non materi. Orang yang mencari kenikmatan ini lebih tinggi dibanding pencari kenikmatan materi. Karena itu, dia akan sanggup menanggung derita, melebih derita pencari nikmat yang pertama. Karena kekuasaan, kehormatan dan harga diri, orang sanggup berperang. Tapi, motivasi ini masih lemah, jika dibanding dengan motivasi para pencari kenikmatan ketiga.

Kenikmatan spiritual [Ladzdzah Ruhaniyyah]. Nikmatnya ibadah, berdakwah, jihad, sedekah dan wakaf, karena cinta dan kerinduan kepada-Nya, meski apapun dikorbankan untuk-Nya. Derita ahli ibadah, hingga kaki bengkak. Derita para pengemban dakwah, ketika dipersekusi, dimaki, dihujat, difitnah, bahkan dipenjara dan disiksa, adalah derita cinta dan kerinduan kekasih untuk melihat wajah-Nya. Begitu juga derita Mujahidin yang berjihad di jalan-Nya, yang begitu rupa cinta dan kerinduannya untuk bertemu kekasih-Nya, meski harus memutus kenikmatan berhubungan dengan isterinya, seperti Handzalah.

Begitu juga, orang bersedekah dan wakaf untuk-Nya. Dia berikan hartanya yang fana, untuk mendapatkan yang abadi di sisi-Nya. Sesuatu yang membuat Abu Bakar mendapatkan salam dari Jibril dan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kenikmatan Ruhaniyyah itulah yang membuat Sa’ad bin Rabi’ menawarkan separo hartanya dan seorang isterinya kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf, saat dipersaudarakan oleh Nabi dengannya. Kenikmatan Ruhaniyyah itulah yang membuat Thalhah menyerahkan tanah dan kebun kurmanya di Madinah kepada Nabi, yang hingga kini menjadi wakaf abadi. Kenikmatan itulah yang membuat ‘Umar menyerahkan bagian tanahnya saat Perang Khaibar untuk wakaf.

Bahkan, yang lebih dahsyat lagi, apa kira-kira yang membuat Khalifah Abu Bakar dan ‘Umar bin Khatthab, dengan kompensasi ala kadarnya saat menjadi Khalifah, tetapi dengan jam kerja 24 jam, mengurusi seluruh dunia yang berada di bawah wilayahnya, kalau bukan karena kenikmatan Ruhaniyyah ini?

Itulah, kenikmatan bertemu Allah, dan kenikmatan melihat wajah-Nya. Menikmati kenikmatan itu membuat setiap orang Mukmin akan merasa enteng dan ringan dengan dunianya. Karena dunia sama sekali tidak ada di dalam hatinya. Hatinya bergemuruh dengan cinta, dan kenikmatan abadi di Akhirat sana. Kenikmatan surga, dan puncak kenikmatan melihat wajah-Nya.

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْـأَلُكَ لَذَّةَ النَّظْرِ إِلَى وَجْهِكَ، وَالشَّوْقِ إِلَى لِقَائِكَ

“Ya Allah, hamba memohon kepada-Mu kenikmatan memandang wajah-Mu, dan merindukan perjumpaan dengan-Mu.”

Kapan kita bertemu Allah? Saat ajal kematian itu tiba, dan nyawa meninggalkan raga kita. Itulah saat pertama kali kita bertemu dengan-Nya. Jiwa kita akan tenang [Muthma’innah], ridha dan mendapatkan keridhaan-Nya [Radhiyah Mardhiyyah], karena apa yang telah kita tanam sebelum kematian. Itulah yang dirasakan oleh Nabi dan para sahabat, ketika menjemput kematian, dan bertemu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ketika Q.s. al-Fajr ini turun:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ المُطْمَئِنَّةُ اِرْجِعِيْ إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً، فَادْخُلِيْ فِيْ عِبَادِيْ وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْ

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah [menghadap] kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai. Masuklah ke dalam golongan hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” [Q.s. al-Fajr: 27-30]

Abu Bakar sedang duduk bersama Nabi, kemudian beliau berkata, “Alangkah indahnya ayat ini?” Nabi Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama bersabda, “Mengenai ayat ini, inilah yang akan disampaikan kepadamu [oleh Malaikat saat kamu mati].” [Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, Juz XIV/350]

Jiwa-jiwa yang tenang itu, benar-benar ridha dan mendapatkan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena apa yang telah mereka lakukan di dunia itu untuk mewujudkan cinta, dan mimpinya bertemu dengan-Nya, serta melihat wajah-Nya. Alangkah indahnya, kata Abu Bakar.

Semoga Sahabat STIKOM dan kita semua termasuk di antara mereka.

Aamiin ya Rabbal alamiin.

Wassalamu’alaikum warahamatullahi wabaraktuh

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Scroll to Top