Istiqomah dalam ketakwaan

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

وَٱلَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا۟ فَٰحِشَةً أَوْ ظَلَمُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا۟ ٱللَّهَ فَٱسْتَغْفَرُوا۟ لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ إِلَّا ٱللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلُوا۟ وَهُمْ يَعْلَمُونَ.

Orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka segera mengingat Allah lalu memohon ampunan atas dosa-dosa mereka. Siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedangkan mereka mengetahui (TQS Ali Imran [3]: 135)
Bertakwalah kepada Allah. Sungguh hanya dengan takwa, derajat kita akan ditinggikan oleh Allah. Terus pupuk ketakwaan itu sehingga karakter tersebut senantiasa melekat dalam diri kita sampai akhir hayat kita.
Ramadhan telah berlalu cukup lama. Idealnya, setelah melewati masa-masa “training” sebulan penuh selama Ramadhan, setiap Muslim akan menjadi “sosok baru”. Sosok yang berbeda dengan sebelum Ramadhan. Pribadi makin rajin beribadah; makin banyak bersedekah; makin berakhlakul karimah; makin rajin menuntut ilmu; makin terikat dengan syariah; makin giat berdakwah dan beramal makruf nahi mungkar; dan seterusnya. Sebaliknya, ia pun makin jauh dari perbuatan dosa dan maksiat kepada Allah SWT.Baginda Rasulullah SAW pernah bersabda kepada Muadz bin Jabal ra. saat beliau mengutus dia ke Yaman:

اتق الله حيثما كنت

“Bertakwalah engkau kepada Allah di manapun/kapanpun/dalam keadaan bagaimanapun…” (HR at-Tirmidzi).
Kata haytsu bisa merujuk pada tiga hal yakni: tempat (makan), waktu (zaman) dan keadaan (hal).
Karena itu sabda Baginda Rasul Saw kepada Muadz ra tersebut sebagai isyarat agar ia bertakwa kepada Allah SWT, tidak hanya di Madinah saja: saat turunnya wahyu-Nya, saat ada bersama beliau, juga saat dekat dengan Masjid Nabi Saw. Namun, hendaklah ia bertakwa kepada Allah SWT di mana pun, kapan pun dalam keadaan bagaimana pun (‘Athiyah bin Muhammad Salim, Syarh al-Arba’in anNawawiyyah, 42/4-8).
Dengan demikian kita pun sejatinya bertakwa tidak hanya saat berada pada bulan Ramadhan saja, yang kebetulan baru kita lalui, tetapi juga di luar Ramadhan selama sebelas bulan berikutnya.
Satu hal yang umumnya sulit dipertahankan oleh seorang Muslim adalah keitiqamahan dalam ketakwaan. Betapa banyak Muslim yang selama Ramadhan berusaha shalat tepat waktu, khusyuk di dalamnya. Banyak membaca, mengkaji dan mengamalkan al-Quran. Berusaha menutup aurat dan berjilbab syar’i (bagi Muslimah). Banyak melakukan shalat malam dan zikir. Banyak bersedekah. Berhenti dari banyak dosa dan maksiat.
Namun, selepas Ramadhan, kadar keimanannya seolah berkurang. Tingkat ketakwaannya seolah menurun. Ibadah shalatnya kembali bolong-bolong. Membaca al-Quran kembali jarang-jarang. Auratnya kembali terbuka. Dosa dan maksiat kembali dilakoni.
Pertanyaannya: Bagaimana agar kita tetap istiqamah dalam ketakwaan?
Pertama : Kita harus tetap memelihara amalan-amalan rutin Ramadhan. Shaum, shalat, zikir, sedekah, membaca dan mengkaji al-Quran, shalat berjamaah, istighfar, bangun malam, memperbanyak amalan sunnah dan aktivitas lain yang sebelumnya dilakukan pada bulan Ramadhan. Termasuk menjaga semangat Ramadhan. Karena itu semangat dalam mencegah diri dari perbuatan maksiat, keikhlasan, kesabaran, keistiqamahan, semangat jihad fi sabîlillâh dan semangat dakwah seharusnya terus menyala meski Ramadhan telah usai.
Kedua : Lebih meningkatkan upaya memahami hukum-hukum Allah SWT dengan banyak menghadiri majelis ilmu. Setiap Muslim yang berharap Ramadhannya lebih bermakna akan terus meningkatkan pengetahuan dan pemahamannya tentang hukum-hukum Allah SWT.
Ketiga : Lebih giat berdakwah. Bulan Ramadhan merupakan bulan turunnya al-Quran sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia. Tidak mungkin petunjuk itu sampai bila tidak didakwahkan. Atas dasar inilah dakwah merupakan karakter kaum Mukmin.
Keempat : Terus bertobat dengan tobat yang sebenar-benarnya (tawbatan nashûhâ). Sekalipun Allah SWT menjamin mengampuni orang-orang yang benar-benar puasa Ramadhan, kaum Mukmin tidak akan terlena dengan itu. Mereka tetap bertobat sebagai salah satu karakter orang bertakwa, seperti tercantum dalam firman Allah SWT :

وَٱلَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا۟ فَٰحِشَةً أَوْ ظَلَمُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا۟ ٱللَّهَ فَٱسْتَغْفَرُوا۟ لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ إِلَّا ٱللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلُوا۟ وَهُمْ يَعْلَمُونَ.

Orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka segera mengingat Allah lalu memohon ampunan atas dosa-dosa mereka. Siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedangkan mereka mengetahui (TQS Ali Imran [3]: 135)
Kelima: Berusaha selalu hidup di tengah-tengah komunitas masyarakat yang bertakwa. Di sinilah pentingnya ketakwaan kolektif.
Maka dari itu, untuk menyempurnakan dan melanggengkan ketakwaan yang sudah ditempa selama Ramadhan, hendaklah setiap Muslim turut terlibat secara aktif  mewujudkan syariah Islam secara kaffah. Karena  semua itu merupakan tuntutan dari keimanan kita sekaligus penyempurna perwujudan ketakwaan kita kepada Allah SWT.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Dikutip dari : https://seruanmasjid.com/

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Scroll to Top